tanggal 11 september 2016 termasuk hari bersejarah tentunya takan terlupakan baghaimana tidak sejarah kadang slalu dikaburkan akibat zaman dan perbedaan warna. tepatnya minggu 11 september 2016 ida bhatara Mpu Gana telah dilinggihkan dipurta catur lawa ratu pasek.
https://youtu.be/Lls_TxW1FCU
https://m.facebook.com/deva.pradnyana/albums/10202269388252797/?ref=bookmarks
peristiwa ini terjadi karena sebetula
hnya permasalahan ini sudah lama terjadi sulinggih dari semeton pasek tidak diijinkan untuk meweda atau melantunkan doa dan mantra dibale untuk ngeweda. malah yang terbaru pemangku di pura dasar bhuwana gelgel tidak menginjinkan mpu ngeweda dibale tempat pemujaan katanya hanya pada saat piodalan saja boleh digunakan . sehingga Mpu dengan kesederhanaannya ngeWeda ditanah beralaskan tikar dan dengan santainya pemamgku itu duduk dikursi.dan pemberitaan sangat gentar waktu itu.
sekilas
Copas dari Ida Pandita Mpu Jaya Prema
Pura Dasar Bhuwana awalnya sekali dibangun oleh Mpu Dwijaksara pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi untuk memuja kawitan pasek (ratu pasek) Mpu Gana. Oleh Dalem Gelgel Sri Swara Kepakisan dimohon apakah pura ini bisa dijadikan Pura Kerajaan. Dizinkan maka pada tahun 1380 diperbesar (dipugar/renovasi) dan resmi jadi pura kerajaan dengan nama Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Karena dijadikan pura kerajaan maka di sana dibuatkan penyungsungan dua warga baru, jadilah Penyungsungan Tri Warga. Yakni selain Pasek ditambah Satria Dalem dan Pande. Kemudian di era Danghyang Nirartha pada tahun 1489 Masehi (1411 Saka) Pura Dasar Bhuwana itu ditambah lagi Penyungsungan warga Brahmana Ciwa. Maka sejak itu sampai kini di pura itu ada penyungsungan Catur Warga.
Nah, kenapa sulinggih/Pandita Mpu justru tak boleh munggah di pemiosan, itu kejadian jauh setelah Indonesia Merdeka. Konon (ini belum penelitian formal, silakan dicari sumbernya) di pura itu dibangun pemiosan. Secara letak dan tata linggih pura, tentu saja pemiosan diletakkan di tengah2 jeroan, nah pas itu didepan penyungsungan Brahmana Siwa dan Pande. Penyungsungan Ratu Pasek Mpu Gana, karena paling awal dibangun dan ketika jeroan kecil, letaknya di sudut tidur dekat Kori Agung. Letaknya "nyempil" tak mungkin membuat pemiosan di depan itu karena akan sulit orang lalu lalang. Untuk apa satu jeroan ada dua pemiosan (atau malah empat) tentu aneh, kenapa tak dibuat satu untuk semua sulinggih. Pemikiran awalnya begitu.
Entah apa yang terjadi kemudian, karena letak dan karena Pedanda Brahmana Ciwa jauh lebih banyak di Bali (ingat, Pandita Mpu itu justru dilahirkan oleh Ida Pedanda di Griya Kutri, jangan lupa warga pasek akan sejarah ini, kita harus tetap hormat kepada Ida Pedanda) maka tentu saja pemiwosan itu lebih banyak digunakan oleh Ida Pedanda. Lama-lama hal ini dijadikan "tradisi", seolah-olah pemiwosan itu hanya untuk Ida Pedanda, padahal saat ini Pandita Mpu sudah banyak ada. Ini sudah pasti dari pengaruh "Kasta Yang Salah Kaprah" -- baca buku "Kasta Kesalahpahaman Berabad-abad".
Apa jalan keluar sekarang, kalau hal ini dianggap "diskriminasi" (padahal dalam meyadnya tak ada istilah diskriminasi, karena Tuhan Maha Tahu, biarpun memuja sambil nyelempoh yang penting tulus dan suci, pasti UTAMA).Mari kita bicarakan baik2 dengan pengempon, dengan pewaris kerajaan (kalau dianggap ada) dan pihak2 terkait. Kalau itu buntu karena semua pihak berpegang pada "tradisi" padahal tradisi itu bukan dari rentang waktu awal, saya sarankan untuk MENGALAH. Cara mengalah adalah, mari kita warga pasek menabung untuk urunan, siapa tahu suatu saat kelak, entah lima tahun lagi atau sepuluh tahun lagi, bisa membeli lahan di sekitar situ. Kita bangun pura baru sebagai Penyungsungan Ratu Pasek Mpu Gana, nah, di sana kita bebas melakukan pemujaan sesuai dengan yang kita inginkan. Yang penting tetap ada Catur Parahyangan Warga Pasek (Lempuyang Madya, Pedharman Besakih, Silayukti, dan Ratu Pasek Mpu Gana -- yang kini "nyempil" di Pura Dasar Bhuwana). Mari kita berpikir jernih, positif dan menghindari konflik. Mengalah untuk kebaikan dan kebenaran pasti mendapat anugrah Hyang Widhi. Ini pemujaan ke leluhur, kita harus santun. Suksma.
https://m.facebook.com/deva.pradnyana/albums/10202269388252797/?ref=bookmarks
peristiwa ini terjadi karena sebetula
hnya permasalahan ini sudah lama terjadi sulinggih dari semeton pasek tidak diijinkan untuk meweda atau melantunkan doa dan mantra dibale untuk ngeweda. malah yang terbaru pemangku di pura dasar bhuwana gelgel tidak menginjinkan mpu ngeweda dibale tempat pemujaan katanya hanya pada saat piodalan saja boleh digunakan . sehingga Mpu dengan kesederhanaannya ngeWeda ditanah beralaskan tikar dan dengan santainya pemamgku itu duduk dikursi.dan pemberitaan sangat gentar waktu itu.
sekilas
Copas dari Ida Pandita Mpu Jaya Prema
Pura Dasar Bhuwana awalnya sekali dibangun oleh Mpu Dwijaksara pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi untuk memuja kawitan pasek (ratu pasek) Mpu Gana. Oleh Dalem Gelgel Sri Swara Kepakisan dimohon apakah pura ini bisa dijadikan Pura Kerajaan. Dizinkan maka pada tahun 1380 diperbesar (dipugar/renovasi) dan resmi jadi pura kerajaan dengan nama Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Karena dijadikan pura kerajaan maka di sana dibuatkan penyungsungan dua warga baru, jadilah Penyungsungan Tri Warga. Yakni selain Pasek ditambah Satria Dalem dan Pande. Kemudian di era Danghyang Nirartha pada tahun 1489 Masehi (1411 Saka) Pura Dasar Bhuwana itu ditambah lagi Penyungsungan warga Brahmana Ciwa. Maka sejak itu sampai kini di pura itu ada penyungsungan Catur Warga.
Nah, kenapa sulinggih/Pandita Mpu justru tak boleh munggah di pemiosan, itu kejadian jauh setelah Indonesia Merdeka. Konon (ini belum penelitian formal, silakan dicari sumbernya) di pura itu dibangun pemiosan. Secara letak dan tata linggih pura, tentu saja pemiosan diletakkan di tengah2 jeroan, nah pas itu didepan penyungsungan Brahmana Siwa dan Pande. Penyungsungan Ratu Pasek Mpu Gana, karena paling awal dibangun dan ketika jeroan kecil, letaknya di sudut tidur dekat Kori Agung. Letaknya "nyempil" tak mungkin membuat pemiosan di depan itu karena akan sulit orang lalu lalang. Untuk apa satu jeroan ada dua pemiosan (atau malah empat) tentu aneh, kenapa tak dibuat satu untuk semua sulinggih. Pemikiran awalnya begitu.
Entah apa yang terjadi kemudian, karena letak dan karena Pedanda Brahmana Ciwa jauh lebih banyak di Bali (ingat, Pandita Mpu itu justru dilahirkan oleh Ida Pedanda di Griya Kutri, jangan lupa warga pasek akan sejarah ini, kita harus tetap hormat kepada Ida Pedanda) maka tentu saja pemiwosan itu lebih banyak digunakan oleh Ida Pedanda. Lama-lama hal ini dijadikan "tradisi", seolah-olah pemiwosan itu hanya untuk Ida Pedanda, padahal saat ini Pandita Mpu sudah banyak ada. Ini sudah pasti dari pengaruh "Kasta Yang Salah Kaprah" -- baca buku "Kasta Kesalahpahaman Berabad-abad".
Apa jalan keluar sekarang, kalau hal ini dianggap "diskriminasi" (padahal dalam meyadnya tak ada istilah diskriminasi, karena Tuhan Maha Tahu, biarpun memuja sambil nyelempoh yang penting tulus dan suci, pasti UTAMA).Mari kita bicarakan baik2 dengan pengempon, dengan pewaris kerajaan (kalau dianggap ada) dan pihak2 terkait. Kalau itu buntu karena semua pihak berpegang pada "tradisi" padahal tradisi itu bukan dari rentang waktu awal, saya sarankan untuk MENGALAH. Cara mengalah adalah, mari kita warga pasek menabung untuk urunan, siapa tahu suatu saat kelak, entah lima tahun lagi atau sepuluh tahun lagi, bisa membeli lahan di sekitar situ. Kita bangun pura baru sebagai Penyungsungan Ratu Pasek Mpu Gana, nah, di sana kita bebas melakukan pemujaan sesuai dengan yang kita inginkan. Yang penting tetap ada Catur Parahyangan Warga Pasek (Lempuyang Madya, Pedharman Besakih, Silayukti, dan Ratu Pasek Mpu Gana -- yang kini "nyempil" di Pura Dasar Bhuwana). Mari kita berpikir jernih, positif dan menghindari konflik. Mengalah untuk kebaikan dan kebenaran pasti mendapat anugrah Hyang Widhi. Ini pemujaan ke leluhur, kita harus santun. Suksma.
No comments:
Post a Comment